Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan tinggi menjadi perbincangan hangat lantaran hadirnya anggota TNI di beberapa kampus.
Kehadiran beberapa anggota TNI masuk kampus itu menuai pro kontra dari banyak pihak lantaran dianggap bisa melanggar kebebasan akademik dan berpotensi menimbulkan intimidasi terhadap mahasiswa. Namun, ada pula beberapa pihak yang menganggap bahwa kehadiran TNI di perguruan tinggi bisa meningkatkan wawasan kebangsaan bagi generasi muda.
Menanggapi pro kontra TNI masuk kampus, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH, mengatakan bahwa kampus adalah institusi yang memiliki otonomi dalam menjalankan tanggung jawab akademik guna mendukung negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kampus diberikan wewenang untuk mengembangkan sistem pendidikan secara mandiri, sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan oleh institusi, serta selaras dengan tujuan bernegara.
“TNI masuk kampus itu tidak masalah selama tidak menyalahi eksistensi dan identitas kampus sebagai institusi akademik,” ujarnya.
Jika hanya sekadar silaturahmi, menurutnya tidak masalah. TNI bisa masuk kampus selama dalam koridor kerja sama kelembagaan. Sebab, bagaimanapun, dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya, TNI memerlukan dukungan dari kampus berupa riset keilmuan dan pengabdian masyarakat.
Namun, Dr Rifqi mengatakan bahwa kerja sama itu pun harus tetap dalam koridor menghormati otonomi keilmuan dan kebebasan akademik yang menjadi identitas kampus.
“Kampus memiliki ruang pengabdian kepada negara yang sangat luas, yang dapat bekerja sama dengan TNI. Pola kerja sama yang dikembangkan harusnya bersifat mutual agreement yakni menjamin kampus untuk menetapi identitas dan visi-misi yang menjadi dasar pendiriannya,” tuturnya
Namun, menurutnya, ketika TNI masuk kampus untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan kampus, maka itu sudah bertentangan dengan konstitusi, undang-undang, dan juga nilai-nilai akademik yang dijunjung dalam kampus.
Kebebasan Mahasiswa dalam Beropini
Salah satu isu yang ramai tentang TNI masuk kampus adalah ketika beberapa pers mahasiswa dihubungi oleh oknum TNI setelah memberitakan tentang TNI masuk kampus.
Menanggapi hak tersebut, Dr Rifqi menjelaskan bahwa selain dilindungi oleh UU Pers, pers mahasiswa juga dilindungi oleh UU Pendidikan Tinggi.
Dr Rifqi berkata, “Keduanya memberikan jaminan kemerdekaan kepada pers mahasiswa dalam melakukan pemberitaan yang benar dan sesuai dengan kaidah pers.”
Dalam beropini pun, pers mahasiswa dilindungi oleh kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang membingkai eksistensi mereka sebagai organisasi di dalam kampus.
“Jadi, dalam kerja jurnalistik mereka, tidak boleh ada tindakan teror dari siapa pun, terutama dari lembaga negara sekelas TNI yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat,” terang Dr Rifqi.
Menurutnya, jika dengan ormas yang distigma “preman” saja mereka (TNI) bisa bersikap toleran, maka seharusnya mereka juga dapat jauh lebih bersahabat dan toleran terhadap pers mahasiswa.
UU Tentang TNI Masuk Kampus
Dosen program studi Hukum itu juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa tatanan etik di kampus yang harus dijunjung tinggi dan menjadi pondasi bagi tata kehidupan pendidikan tinggi.
“Ada UU Nomor 12 Tahun 2012 yang menjadi dasar bagi tata kehidupan kampus, yang menjelaskan bahwa kampus sebagai institusi pendidikan bersifat otonom dan merdeka,” jelas Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida tersebut.
Kemerdekaan tersebut, imbuhnya, tercermin dalam jaminan kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan.
Ia mempersilahkan institusi lain atau TNI masuk kampus selama tidak menyalahi dan melanggar kebebasan mimbar akademik dan otonomi kampus. Tapi, ketika mereka masuk untuk mengganggu kebebasan dan otonomi itu, maka mereka sejatinya telah melanggar hukum, bahkan konstitusi negara.
Bagaimana Jika Kejadian Terus Berulang?
Jika memang TNI masuk kampus dan hal tersebut terus berlanjut, ada beberapa kekhawatiran yang mungkin bisa terjadi, terlebih mengingat hal serupa pernah terjadi pada era Orde Baru.
“Kekhawatiran itu di antaranya yakni rusaknya identitas dan eksistensi kampus. Namun, kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat praktik intervensi kekuasaan melalui penertiban kehidupan kampus oleh militer pernah dilakukan pada era Orde Baru,” ungkapnya.
Pada masa tersebut, tambahnya, militer masuk dan banyak mengganggu kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di kampus.
“Setelah reformasi, praktik TNI masuk kampus telah berusaha dihentikan, salah satunya melalui penerbitan undang-undang pendidikan tinggi yang menjamin kebebasan dan otonomi kampus,” imbuhnya.
Cara PTM Menjaga Stabilitas Nasional
Lebih lanjut, doktor lulusan Universitas Muhammadiyah Surakarta itu menjelaskan bahwa ada beberapa cara untuk menjaga stabilitas nasional sekaligus menjamin ruang kritis di dunia pendidikan tinggi.
“Kita bisa menetapi apa yang menjadi tugas dan fungsi masing-masing dengan saling mempercayai dan menghormati eksistensi kelembagaan masing-masing,” tegasnya.
Menurutnya, TNI tidak perlu masuk terlalu dalam untuk mengendalikan kehidupan kampus dengan alasan keamanan dan ketahanan nasional. Sebab, kampus sudah memiliki koridor akademik yang membentuk warga dan produk pendidikannya memiliki kesadaran bernegara yang benar. Terlebih, sudah ada Kementerian Dikti dan lembaga akreditasi yang menjalankan peran dalam penjaminan mutu universitas.
Lebih lanjut, Ia juga mengatakan bahwa TNI harus memiliki pemahaman bahwa nalar kritis adalah aset bangsa yang harus dijaga dan dipertahankan untuk menjamin eksistensi bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berkemajuan.
“Kritik dari kalangan akademisi terhadap praktik kenegaraan para pejabat dan lembaga negara seharusnya dilihat sebagai bentuk nasionalisme dan kecintaan mereka terhadap negara serta masa depan bangsa,” sambungnya.
Ia berpesan agar tidak perlu mencurigai kritik akademik sebagai upaya untuk meruntuhkan negara.
“Karena sejarah mencatat bahwa bangsa ini dibangun oleh nalar kritis para akademisi yang menginginkan kemerdekaan dan kemajuan bangsanya,” ujarnya.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berintegritas, menurutnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) harus meletakkan dirinya sebagai instrumen dakwah persyarikatan yang terikat oleh kaidah persyarikatan.
“PTM harus mampu membangun kerja sama produktif dengan siapa pun, termasuk TNI untuk menjalankan visi Islam yang berkemajuan untuk mewujudkan Indonesia yang berkemajuan,” katanya.
Menurut Dr Rifqi, kerja sama yang produktif harus tetap bersandar pada Matan, keyakinan, dan cita-cita hidup (MKCH) Muhammadiyah. Selama sejalan dengan semua itu, kita bisa bekerja sama. (*)





